Bagaimana Asal Mula Sangha Theravada Indonesia?
Pada tanggal 23 Oktober 1976, Vihara Maha Dhammaloka (sekarang Vihara Tanah
Putih) menjadi tempat yang digunakan oleh bebereapa bhikkhu yaitu Bhikkhu Aggabalo,
Bhikkhu Khemasarano, Bhikkhu Suddhammo, Bhikkhu khemiyo, dan Bhikkhu Nyanavuttho
serta para tokoh umat seperti Bapak Drs. Suriyaputta K. S. Suratin, Bapak Drs. S. Mohtar
Rashid, dan Ibu R.S. Prawirokoesoemo untuk berkumpul dan membicarakan hal yang penting
mengenai agama Buddha. Sebelumnya juga terdapat banyak organisasi umat Buddha yang aktif
di bidang pembinaan keagamaan yang di luar binaan Sangha antara lain: Tridharma, Buddhis
Indonesia, Persaudaraan Buddhis Indonesia, dan Federasi Buddhis Indonesia. Namun beberapa
umat Buddha telah keluar dari organisasi tersebut karena sudah tidak sejalan lagi. Seperti dalam
pembinaan umat Buddha selama beberapa tahun, mereka telah melihat, mendengar, dan
menemukan kondisi umat Buddha yang tidak mendapat pembinaan dari organisasi Sangha pada
saat itu, begitu juga dengan informasi dari anggota Sangha yang tidak sesuai dengan kebijakan
organisasi dan pimpinan Sangha. Di samping itu juga para bhikkhu dituntut oleh umat untuk
mematuhi dan melaksanakan Vinaya Kebhikkhuan sesuai dengan Patimokha yang tercantum
dalam Tipitaka.
Pembentukan Sangha Theravada Indonesia ini didasari oleh berbagai pertimbangan,
antara lain organisasi ini dibentuk bukan untuk menyaingi Sangha yang sudah ada, tetapi untuk
kepentingan bersama para Bhikkhu dan untuk memfasilitasi kebutuhan umat dalam hal
pembinaan. Akhirnya, di dalam pertemuan Keempat Bhikkhu sependapat untuk membentuk
Sangha baru dan Bhikkhu Khemasarano menyetujuinya. Dengan begitu terbentuklah Sangha
yang dinamakan Sangha Theravada Indonesia oleh kelima orang bhikkhu tersebut yaitu:
Bhikkhu Anggabalo, Bhikkhu Khemasarano, Bhikkhu Suddhammo, Bhikkhu Khemiyo, dan
Bhikkhu Nyanavuttho. Dua Dhammaduta Thailand yaitu Bhante Suvirayan dan Bhante Sombat
Pavitto juga ikut menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut. Sangha Theravada Indonesia
disambut baik oleh tokoh-tokoh umat yang hadir maupun yang tidak hadir, pembentukan Sangha
Theravada Indonesia juga langsung mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak.
Di saat setelah terbentuk, Sangha Theravada Indonesia menyelenggarakan rapat Sangha
yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal (Maha Lakkhana- dikari). Beberapa hari
kemudian, Bhikkhu Anggabalo dan Samanera Tejavanto (yang sekarang adalah Bhikkhu
Pannavaro) menemui Bhikkhu Girirakkhito Thera di Jakarta untuk menyampaikan telah
berdirinya Sangha Theravada Indonesia. Setelah pertemuan dengan Bhikkhu Girirakkhito, maka
Bhikkhu Aggabalo, Bhikkhu Girirakkhito dan Samanera Tejavanto langsung menghadap ke
Dirjen Bimas Hindu dan Buddha saat itu. Dirjen kemudian menerima dan mengakui keberadaan
Sangha Theravada Indonesia. Bapak Drs. Suriyaputta K.S.Suratin adalah perancang logo Sangha
Theravada Indonesia yang berupa stupa Candi Borobudur dan setelah itu logo diajukan kepada
Sekjen Sangha yaitu Bhikkhu Aggabalo dan diterima setelahnya.
Sampai saat ini logo tersebut masih digunakan sebagai logo Sangha Theravada Indonesia yang dimana logo tersebut terdiri
dari stupa, Dhammacakka(Roda Dhamma) dan empat lingkaran.