Dhamma dalam Kisah #1: Angulimala, Pembunuh Berkalung Jari Manusia

Angulimala adalah putra seorang kepala pendeta di istana Raja Pasenadi dari Kosala. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Ketika Ahimsaka beranjak dewasa, ia dikirim ke Taxila, sebuah sekolah yang sangat terkenal. Ahimsaka sangat pandai dan patuh kepada gurunya. Oleh karena itu, ia sangat disenangi oleh gurunya dan murid-murid lainnya.

Murid-murid lain menjadi iri hati kepadanya. Mereka pergi menghadap gurunya dan memfitnah Ahimsaka, “Guru, saya melihat sendiri Ahimsaka melakukan tindakan yang melanggar susila pada istri guru!” Sementara murid yang lain pun mengatakan, “Guru, saya juga melihatnya!”

Guru Ahimsaka sangat marah mendengar berita tersebut dan berniat untuk membalas Ahimsaka. Untuk itu sang guru menyusun rencana. Setelah rencananya tersusun rapi, Guru Ahimsaka memanggil Ahimsaka dan memberitahukan kepadanya, “Hai, Ahimsaka! Bunuhlah seribu orang lelaki ataupun perempuan dan setelah itu aku akan mengajarkan pengetahuan yang tak ternilai kepadamu.”

Ahimsaka adalah seorang yang bijaksana dan pandai. Sebenarnya ia memiliki daya ingat yang kuat, namun setelah ia membunuh banyak manusia, ingatannya menjadi kabur sehingga ia lupa sama sekali berapa jumlah orang yang telah ia bunuh.

Untuk mengingatnya kembali ia terpaksa memotong jari-jari tangan orang yang telah ia bunuh dan dirangkai menjadi kalung. Kalung ini dibuat oleh Ahimsaka dengan maksud agar tidak salah hitung. Karena memakai kalung jari manusia, ia dikenal dengan nama “Angulimala” yang artinya “orang yang memakai untaian kalung jari”. Ia juga dikenal sebagai pengacau di daerah itu.

Beberapa hari kemudian, Raja Pasenadi mendengar perihal perbuatan Angulimala dan Raja memerintahkan untuk menangkap pengacau tersebut. Ibu Angulimala mengetahui rencana Raja Pasenadi, dan karena kasih sayang yang besar pada anaknya, ia berusaha untuk menolong anaknya. Ibu Angulimala memasuki hutan tempat Angulimala menunggu korbannya. Pada saat itu, kalung Angulimala telah mencapai 999 jari dan tinggal 1 jari lagi akan genap menjadi seribu jari.

Lalu pagi-pagi sekali Sang Buddha melihat Angulimala dengan mata batinnya (Dibbacakkhu) dan mendapatkan bahwa Angulimala akan membunuh ibunya sendiri untuk menggenapkan kalungnya menjadi 1000 jari. Jika ia membunuh ibunya, pasti ia akan masuk ke dalam neraka Avici. Sang Buddha pun masuk ke hutan mendahului ibu Angulimala, untuk menolong Angulimala agar tidak membunuh ibunya.

Di dalam hutan, Angulimala sangat lelah dan mengantuk. Pada saat yang sama, ia sangat cemas untuk membunuh satu orang terakhir agar jumlah seribu jari terpenuhi, dan menyempurnakan tugasnya. Ia pun memutuskan untuk membunuh orang pertama yang dijumpainya.

Sumber: https://dharmacowgirl.files.wordpress.com/2013/09/angulimala.jpg

Ketika melihat seorang pertapa lewat di depannya, ia sangat senang. Pertapa tersebut tidak lain adalah Sang Buddha. Dengan pedang di tangan, Angulimala mengejar Sang Buddha Gautama. Anehnya, meskipun Angulimala berlari dengan kencang, ia tidak dapat menyusul Sang Buddha yang berjalan dengan tenang.

“O, Bhikkhu, berhenti! Berhenti!!!” seru Angulimala.
“Aku telah berhenti, kamulah yang belum berhenti,” ujar Sang Buddha.

“O, Bhikkhu! Mengapa engkau berkata bahwa engkau telah berhenti dan aku belum berhenti?” tanya Angulimala pada Sang Buddha.

“Aku berkata bahwa Aku telah berhenti, karena Aku telah berhenti menyiksa dan membunuh semua makhluk, dan Aku telah mengembangkan diriku dalam cinta kasih bagi semua makhluk, kesabaran, dan pengetahuan yang tanpa cela. Tetapi kamu belum berhenti membunuh atau menyiksa makhluk lain dan kamu belum mengembangkan dirimu dalam cinta kasih dan kesabaran. Karena itu kamulah orang yang belum berhenti,” jawab Sang Buddha.

Begitu mendengar kata-kata tersebut dari mulut Sang Buddha, Angulimala menjadi sadar. Kemudian, ia melemparkan senjatanya dan memohon kepada Sang Buddha untuk menerimanya menjadi bhikkhu. Di tempat itu juga, Sang Buddha pun menahbiskan Angulimala menjadi seorang bhikkhu.

Sumber: http://www.buddhistedu.org/en/images/stories/buddhist_study/life-of-buddha-50.jpg

Ibu Angulimala mencari anaknya di dalam hutan, tetapi ia tidak menemukan anaknya, dan ia pun kembali ke istana. Ketika Raja Pasenadi dan para prajuritnya mengetahui bahwa Angulimala telah menghentikan perbuatan jahatnya dan hidup sebagai seorang bhikkhu di Vihara Sang Buddha, Raja dan prajuritnya pun kembali pulang.

Selama tinggal di vihara, Angulimala dengan tekun dan rajin melatih dirinya dalam meditasi. Dalam waktu yang singkat, Angulimala mencapai tingkat kesucian Arahat.

Pada suatu hari, ketika Angulimala sedang berjalan untuk menerima dana makanan, ia melewati suatu tempat dimana terjadi pertengkaran antara sekumpulan orang. Ketika mereka saling melemparkan batu, beberapa batu mengenai kepala Angulimala dan melukainya.

Ia berjalan pulang menemui Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepadanya, Angulimala, anakku! Kamu telah melepaskan perbuatan jahat. Bersabarlah. Saat ini kamu sedang menerima akibat perbuatan-perbuatan jahat yang telah kamu lakukan. Perbuatan-perbuatan jahat itu dapat menyebabkan penderitaan yang tak terkira lamanya dalam alam neraka (niraya).”

Tidak lama setelah itu, Bhikkhu Angulimala meninggal dunia dengan tenang, merealisasikan ‘Kebebasan Akhir’ (Parinibbana).

Para bhikkhu yang lain kepada Sang Buddha, Bhante, dimanakah Angulimala akan bertumimbal lahir?”
“Angulimala telah merealisasikan Kebebasan Akhir,”
 jawab Sang Buddha.

Mereka hampir tidak memercayainya. Sehingga mereka bertanya lagi kepada Sang Buddha, Bhante, apakah mungkin seorang yang telah banyak membunuh manusia dapat mencapai Parinibbana?”

Terhadap pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, Angulimala telah banyak melakukan perbuatan jahat karena ia tidak memiliki teman-teman yang baik. Tetapi kemudian, ia menemukan teman-teman yang baik dan dengan bantuan mereka serta nasehat yang baik, ia telah dengan mantap dan penuh perhatian melaksanakan Dhamma. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan jahatnya telah disingkirkan oleh kebaikan (Arahatta Magga).”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut (Dhammapada XIII: 173):

“Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan
dengan jalan berbuat kebajikan,
maka ia akan menerangi dunia ini
bagai bulan yang bebas dari awan.”